Orchida Ramadhania; Politically (in)Correct

I don’t get serious too often, really..

Unfold Your Own Myth August 14, 2011

Filed under: Uncategorized — orchida @ 3:34 am
By Rumi

Who gets up early to discover the moment light begins?
Who finds us here circling, bewildered, like atoms?
Who comes to a spring thirsty
and sees the moon reflected in it?
Who, like Jacob blind with grief and age,
smells the shirt of his lost son
and can see again?
Who lets a bucket down and brings up
a flowing prophet? Or like Moses goes for fire
and finds what burns inside the sunrise?

Jesus slips into a house to escape enemies
and opens a door to the other world.
Solomon cuts open a fish, and there's a gold ring.
Omar storms in to kill the prophet
and leaves with blessings.
Chase a deer and end up everywhere?
An oyster opens his mouth to swallow one drop.
Now there's a pearl.
A vagrant wanders empty ruins
Suddenly he's wealthy.

But don't be satisfied with stories, how things
have gone with others. Unfold
your own myth, without complicated explanations,
so everyone will understand the passage,
We have opened you.

Start walking towards Shams. Your legs will get heavy
and tired.  Then comes a moment
of feeling the wings you've grown,
lifting.

 

Sekolah Alam Bintaro August 6, 2011

Filed under: Uncategorized — orchida @ 3:20 am

Hari ini sudah masuk minggu ketiga sejak Khalif jadi murid playgroup B Sekolah Alam Bintaro. Minggu pertama, tiga kali seminggu masih saya tunggu full di depan kelasnya. Karena menurut evaluasi guru-guru, Khalif masih sangat butuh dekat dengan orangtua. Ini adalah konsekwensi dari cara saya dan suami mengasuh dia yang menggunakan cara attached parenting, terutama sejak setahun terakhir saya resign dari bekerja kantoran.

Minggu kedua, saya sudah mencoba untuk mengantarnya saja sampai depan kelas, lalu saya tinggal ke depan, tempat orangtua lain menunggu. Dramatis brama kumbara, tentu saja. Tapi ternyata nggak sampai sejam, Khalif sudah berhenti nangisnya dan ketika saya intip, sudah cuek bebek. Tidak ada bekas kalau tadi habis nangis jejeritan setengah mati nggak mau pisah sama saya. Sungguh akting yang piawai. Dan minggu ketiga, Khalif sudah dengan percaya diri masuk kelas digandeng gurunya dan mengatakan pada saya ‘Amak tunggu di depan ya, sama ibu-ibu lain. Kakak ke kelas dulu ya’. 🙂 alhamdulillah..

Di minggu-minggu awal itu, sambil menunggu Khalif, saya duduk di kursi-kursi kayu yang disediakan di bawah naungan pohon-pohon besar. Di meja depan saya digelar kue-kue dagangan orangtua murid lain; risol, sus, pizza, donat, lemper, es jambu, dll (tapi karena skrg bulan puasa, gelaran dagangan itu sepi). Di sebelah saya seorang ibu usia baya yang suaranya bergetar namun kelihatan sangat sabar, menceritakan tentang cucunya yang sudah TK tapi masih suka nangis kalau ditinggal. Ada kenyamanan dari caranya bicara yang perlahan dan secukupnya. Tapi mungkin saja saya hanya terkenang pada Eyang saya sendiri yang sudah almarhumah.

Lalu seperti orang kota pada umumnya, tak lama kemudian saya sibuk dengan blackberry saya, ngobrol dengan teman yang sbnrnya juga menanyakan urusan sekolah anaknya. Ibu-ibu lain yang duduk satu meja di sebrang saya, melihat saya mungkin dengan agak iba karena hanya mojok sendirian menunduk dengan BB nya. Lalu sambil mengambil jajanan es jambu yang ada di depan meja saya, salah satu ibu itu menawarkan untuk bergabung dengan meja mereka dan ngobrol bersama. Manis sekali, pikir saya. Tapi saya hanya mengucapkan terimakasih.

Manusia pada dasarnya, memang mahluk sosial. Kehidupan nenek moyang kita yang hidup pada jaman pra-sejarah membuktikan hal ini. Lebih dari pada manusia adalah mahluk yang rasional, yang ekonomis, dll, kita adalah mahluk yang butuh terus bersosialisasi dan  berbagi dengan kelompoknya. Maka yang anomali dan dapat disebut sebagai yang ‘melawan kodrat’, sesungguhnya adalah individu-individu yang soliter.

Di zaman modern ini, kita sudah tercipta menjadi semacam species jenis baru yang sangat amat terasing dari bumi tempat kita berpijak dan makan sehari-hari, juga dari manusia-manusia yang tinggal di sekitar kita. Nilai-nilai komunal sudah begitu kental digantikan dengan kebutuhan atas privasi. Saya sendiri, tentu, tidak terbebas dari cetakan ini. Selain individualistis, demi menjaga keamanan dan kenyamanan privasi, sadar atau tidak kita sering memiliki semacam pola-pola prejudice tertentu terhadap begitu banyak hal di luar kita.

Salah satu dari prejudice yang saya miliki itu adalah ini; Hati-hati terhadap ibu-ibu orangtua murid yang mengantar anaknya ke sekolah secara rutin. Umumnya mereka ibu-ibu rumah tangga kurang kerjaan yang akhirnya hanya sibuk membicarakan orang lain atau pamer atas pencapaian yang serba remeh temeh.

Saya pernah mendengar itu dari beberapa saudara yang berbagi pengalamannya mengantar anak ke sekolah pertama kali, beberapa tahun yang lalu. Saya juga pernah mengalami sendiri ketika mesti bersusah payah menjaga obrolan dengan ibu orangtua murid di tempat bermain Khalif ketika dia masih berumur 1 sampai 2 tahun. Pada umumnya, saya adalah orang yang termasuk cepat beradaptasi dan tidak terganggu dengan karakter manusia yang beraneka ragam. Tapi ya begitulah, saya juga masih punya jeratan-jeratan prasangka di kepala saya yang harus terus saya bongkar dan lawan.

Dan sebagai manusia, perjuangan yang sebenarnya adalah untuk mengenali, mengalahkan dan mencntai diri sendiri. 3 kali 3 minggu, belum sampai selusin jumlah pertemuan saya dengan ibu-ibu di sekolah Alam Bintaro itu, tapi sudah begitu banyak ilmu baru yang saya dapat dari hasil berkawan dengan mereka. Saya termasuk minoritas karena tidak berjilbab, tapi sering saya temukan teman-teman yang berjilbab itu justru lebih liberal pemikirannya.

Kami sudah berbagi cerita mengenai banyak hal dan sama sekali bukan tentang orang lain, tapi tentang kisah kami sehari-hari. Seorang teman membawa sekeranjang buku-bukunya untuk menemani siapa saja yang bosan menunggu. Kali berikutnya teman yang lain membawa tikar untuk digelar dan berbagi ilmunya tentang parenting. Lain kesempatan, giliran teman lain berbagi mengenai suka duka memanage sekolah PAUD (pendidikan usia dini) yang gratis untuk anak-anak kurang mampu. Kalau soal teman yang menawarkan barang dagangannya, tidak usah ditanya 🙂 itu sudah pasti. Otomatis romantis. Mulai dari gamis, tas, baju anak, sepatu, make up, etc. Tinggal kkuat-kuat iman saja mengatur kebutuhan.

Kami juga sudah sempat pergi belanja bulanan bersama. Kalau ada anak yang sedang tidak bisa dijemput orangtuanya, kami yang rumahnya paling dekat juga dengan sukarela mengantarkan. Pokoknya, saya merasa hubungan kami sehat sekali meskipun masih terhitung baru. Mungkin kami beruntung karena sama-sama dipertemukan di Sekolah Alam. Maksud saya, belum banyak orangtua yang bersetuju dengan konsep sekolah alam yang tidak melulu menekankan pentingnya kecerdasan kognitif yang bisa diajarkan secara konvensional di dalam kelas. Di Sekolah alam, yang diutamakan adalah mengembalikan hak anak untuk bermain dilapangan terbuka dan oksigen yang melimpah dari pohon-pohon. Untuk mendekatkan manusia kembali pada bumi ini sebagai ‘ibu’nya yang bijaksana. Dan menciptakan karakter yang, bukan hanya saja pintar tapi juga bisa jadi berkah untuk semestanya.

Untuk konsep yang semacam ini, saya merasa dipertemukan dengan sekumpulan orangtua yang satu frekwensi dengan saya. Dan untuk semua teman-teman baru itu, saya bersyukur luar biasa.

 

BEGITU ENGKAU BERSUJUD May 14, 2011

Filed under: Uncategorized — orchida @ 4:39 am

Begitu engakau bersujud, terbangunlah ruang
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki
alam makrifat
Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
adzan
Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah
Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid

Emha Ainun Nadjib

1987

 

DUNIA KECIL DI DESAKU April 30, 2011

Filed under: Uncategorized — orchida @ 6:02 pm
Hubungan orang-orang di desa saya mulanya tak begitu menarik, seperti tak mempunyai arti khusus. 
Di sana ada Kang Jomono, petani gurem, yang tak fasih mengucapkan dua kalimat sahadat ketika kawin dulu 
tapi sampai sekarang hidupnya ayem dan rileks.

Ada juga Mbah Wali, juragan kayu yang makmur, sudah dua kali pergi naik haji. Ilmu agamanya tak sedalam 
yang ia bayangkan sendiri, tapi jelas ia santri fanatik.

Kemudian ada Den Joyo, pensiunan mantri kehutanan. Ia masih trah darah biru. Gaya hidupnya masih  
ingin melanjutkan tradisi kehidupan aristokrasi. Tak lazim di desa miskin di Bantul, rumahnya berpagar 
tembok tinggi. Di bagian depan ada gapura, sebuah tiruan kecil gaya bangunan kraton.

Sering Kang Jomono buruh pada Mbah Wali, mengangkut almari yang baru jadi ke rumah pemesan yang jauh.
Hasil serabutan ini lumayan buat Yu Jiah, istrinya. Tapi Kang Jomono menunjukkan gejala tak betah.
"Aku tak tahan didakwahi terus, Yah", katanya suatu hari. Ya sudah. Yu Jiah manut saja. Terserah apa 
maunya Kang Jomono.

Kang Jomono, yang oleh Mbah Wali disebut abangan itu, sebetulnya bukan anti agama. Jauh di dasar hatinya
ia pun Islam. Sering ia mengatakan, rak mung mergo dereng nindakke, hanya karena belum menjalankan 
(syariah Islam); khas ungkapan keagamaan petani Jawa yang buta huruf.

Dibanding Mbah Wali dan Den Joyo, Kang Jomono hanya setingkat punakawan. Orang bisa menyuruh-nyuruh, dan 
mudah menertawakannya.

Dan seperti layaknya punakawan, ia sering jenaka menertawakan diri sendiri atau orang lain. Ia pun bisa 
sinis. Pandai ngekik balik bila mau. Tentu saja, semua itu terutama bila tak langsung berhadapan.

Umum, contohnya, memanggil haji tua itu Mbah Wali. Kang Jomono enak saja memanggil "kajine": harfiah 
berarti hajinya. Terasa di sini sinisme yang tandas.

Bentuk hubungan pun jelas jadinya: kecuali kerja sama, seperti lazimnya di desa, antagonisme pun nampak 
tajam. Saya mengamati baik-baik. Ternyata, mereka mewakili tiga varian penting: abangan, santri,
priyayi, sebagaimana dirumuskan dalam The Relig1on of Java oleh Clifford Geertz yang masyhur itu.

Sebagai santri Mbah Wali berpegang pada ajaran, bayar buruh-buruhmu sebelum keringat mereka
mengering. Dan buruh-buruh itu, termasuk Kang Jomono, senang dengan ketepatan Mbah Wali membayar.

Haji tua yang nama sebenarnya Walidin itu mempunyai dua macam pantangan: pantang menunda pembayaran
buruh, pantang orang meminjam uang kepadanya.

Sulit disangkal, Mbah Wali memang murah dalam berbagai hal. Murah senyum. Murah nasihat. Dan bila sedang
memperlihatkan kehajiannya, di atas kendaraan pun orang yang baru dikenalnya didakwahi juga. Tapi bila 
urusannya menyangkut uang, tua-tua masih getol ngotot. Ini bisa dimengerti, karena Mbah Wali pedagang. 
Kepada Tuhan pun pada dasarnya ia bersikap dagang.

Pernah ketika Yu Jiah keguguran, Kang Jomono bermaksud meminjam uang buat membelikan Yu Jiah jamu sehat.  
Apa  kata Mbah   Wali?  Sebagus-bagusnya  harta  ialah  hasil  cucuran keringat, bukan pinjaman. Kang 
Jomono memendam semacam rasa kecewa. Makin berani  saja jadinya ia menyebut kajine, atau memberi ejekan 
baru kaum nggoiril, diambil dari ghairil... dalam surat al-Fatihah.

Jamaah masjid jengkel mendengar ejekan itu. Tapi Mbah Wali bisa toleran. Soalnya sering ia memaki 
Jomono si "kapir"(kafir).

Ketegangan memuncak suatu hari ketika dengan sewot Mbah Wali menegur: 
"No, kamu ini kok tidak sopan to No".
"Kenapa to Mbah"?
"Lha  merokok  di  depan  orang  puasa  itu  apa  kamu kira? Gethuk"?
"Yang puasa rak bulan to Mbah, bukan saya".
O ..., lha yo dasar si kapir, wong  abangan.  Tahu  artinya kapir? Kapiran, celaka. E, ala No ..., No. 
Mbok ingat, kelak akan mati. Mati belum tentu nunggu tua Iho No."

Kang Jomono mangkel. Tapi ia tak lalu patah. Ada saja jawabnya.

"Lha sampeyan bisa begitu rak karena dompet sampeyan penuh duit. Coba sampeyan miskin seperti saya.  
Belum tentu jadi nggoiril."

Mbah Wali diam. Kang Jomono dianggap neranyak, melunjak berlebihan.

Den Joyo pun orang kaya. Sawahnya luas. Ia juga butuh buruh untuk menggarap sawah. Ia sendiri tak 
pernah memegang cangkul. Sekarang, sejak pensiun, kesibukan utamanya mengurus perkutut.   
Kadang-kadang menghadiri pertemuan kelompok kebatinan.

Sejak kecewa dengan Mbah Wali, Kang Jomono pindah menjadi buruh Den Joyo. Ia betah di sana. Kecuali bisa 
minum teh manis dan makan sekenyangnya, bayarannya pun bagus. Ia bahkan boleh mengambil bayaran di muka, 
baru kemudian bekerja.

Den Joyo memang baik. Ia selalu sedia memberikan pertolongan siapa pun yang memerlukannya. Sifat begitu 
memang yang diharapkan dari orang kaya oleh  orang  macam  Kang  Jomono. Sebagai imbalan, mereka yang 
miskin "membayar" kemurahan itu dengan penghormatan yang tulus, bukan basa-basi.

Rupanya benar kata James Scott, orang kaya diakui sah kekayaannya hanya bila ia murah dan dermawan kepada 
yang miskin.

Anehnya, kemurahan Den Joyo dikritik Mbah Wali sebagai tak mendidik, hanya menimbulkan ketergantungan 
dan  membikin orang macam Kang Jomono tambah malas.

Den Joyo pura-pura tak mendengar kritik itu. Ia tahu, Mbah Wali sedang berusaha menutupi sifat pelitnya.
Meskipun  begitu  hubungan  tetap baik. Waktu Den Joyo sakit Mbah Wali datang membawa ramuan obat.

Sakit Den Joyo sembuh. Tapi sakit  yang  lain, sakit  hati, muncul  ketika  Mbah  Wali  menasihati:  Den, 
sakit ini akan hilang selamanya bila Den Joyo  mau  salat. Sebaiknya  kita salat sebelum disalatkan.

Den  Joyo tersinggung berat. Tapi ia tak memberikan langsung reaksinya, kecuali "ya,  ya,  Mbah  Wali," 
dan  dalam  hati menggerutu: "apa hanya seorang haji yang punya Tuhan?"

Ketika  Mbah  Wali hajatan, semua diundang kenduri. Den Joyo tak mau hadir. Ia malas ketemu Mbah Wali. 
Dan diplomasi pun sementara putus.

1965, peristiwa G 30 S meletus. Tatanan mendadak dijungkir-balikkan. Ketakutan masal merayap dari rumah 
ke rumah tanpa mengetuk pintu. Banyak orang diciduk. Setidaknya buat diminta KODIM menjelaskan siapa dia.

Dalam ketakutan yang mencekam waktu itu, orang butuh definisi diri yang jelas. Terutama orang macam Kang 
Jomono, abangan, yang disejalurkan dengan PKI.

Masjid pun tiba-tiba penuh. Kang Jomono nampak di antara jamaah. Dan dengan pici hitam yang dibeli di 
Sanden itu identitas pun kini jelas: Muslim.

Kang Sejo, Kang Katir, Kang Suji, Kang  Parmin,  Lik  Renggo yang  dulu BTI, Yu Senik yang Gerwani dan 
Kami yang aktif di Lekra, semua bagai terbius  mantra  gaib, tunduk mendengar khotbah-khotbah Mbah Wali.

Ada semacam perasaan menang dalam diri haji tua itu. Dan perasaan itu sering diperlihatkan  pada  
Kang Jomono. Tapi Kang Jomono tak peduli. Hidupnya yang miskin lebih berat ketimbang soal "kalah" 
dan "menang".  Ia kini berprinsip: hidup ini sudah susah, jadi jangan ditambah susah lagi.

---------------
Merasa beruntung sekali menemukan tulisan ini.. Kalau dibaca sambil dengerin reggae.. efeknya.. Sublime :)
Mohammad Sobary, Media Indonesia, Rabu 19 April 1989
 

All Those Random Talks April 22, 2011

Filed under: Uncategorized — orchida @ 9:50 am

For the past few weeks I’ve been thinking that I have a fantastic life. That’s when it’s wrong. I shouldn’t THINK that I have a fantastic life, I should FEEL it. speaking of what I feel, well.. despite all the wonderful things going on in my life.. I actually feel.. jaded. I feel like I’m doing things almost in default mode. Life became so mundane and predictable. I have so many wantings in between. This gap has created somewhat a feeling of unrest.

I want to laugh like children again, the way I used to. I want to have enough time to read and write and feel fulfilled after. I want to fall into a reckless love, dance like the sufi, listen to wonderful live music and sing my heart out. My marriage with my husband, in principle actually allows all that, but they become impossible technically. We decided not to hire any nanny or babysitter for our soon to be 3 years old. So time management is really our classic issue.

Not long after I feel so dull about myself, I did this TV interview with Pakistani Ambassador. For the past few months I am trusted to host 2 programs of our national TV; Ambassador Press Club and Fokus International. I will tell you more about these programs in a separate note. In a casual conversation in the waiting room, I, the Ambassador, Mr. Jaya Suprana (my co-host) and Dik Doang (activist/ artist) suddenly get into a talk about love. Some love secrets are not meant to be shared here 🙂 but what concerns me the most are their personal comments about me.

Dik: Chida u seem to fit very well working here. Working in other TV stations will drain your time and energy until u wont have enough time to do anything else. Especially for your family

Me: ?? well that’s an elaborative comment from someone who hasnt see me in a long while

He: (smiling wide) u have better instant judgement if u practice it, u know that — (i hate it when he’s right hehehhe but he is) yea just be sure that u make time for other things that u passionate too. Do u paint?

Me: no. But just yesterday I’ve given it a thought because i feel bored. People nowadays dont paint anymore do we?

He: nope we dont. That’s why I’m asking. U look like someone who could use painting as a way to fall in love again

Me: now you’re talkin about me falling in love. sheess look at your speed.. Besides I might use writing to fall in love again instead of painting which i cannot do

And then he offered me to learn painting with him and we talked some more about sufism, how everything is love, supposed to be and will always be love. He said i should make God my lover instead of my God. But then I said if God is my lover, I dont always know how to understand Her. And then he said, u will and u should if u know yourself.

The last sentence stroke me like a lightning. When I looked around, and involved in further discussion with Pak Jaya and the Ambassador I realized each one of them have their own thing to be in love with. I need to know myself before I know my God. How far have I know myself? Pak Jaya plays the piano and enjoys Wayang. The Ambassador writes poetry and paints too. They are more than a hobby and mere activities to kill their time with. Beyond that, it’s their personal spiritual escape.

What about me? I have let taking care of my son as pure obligation now, it used to be my daily remedy. I have forgotten to pay my own debts; to write regularly, to dance carelessly, to listen to my own wantings.

Before I leave the room, like a mind-reader sorcerer, the Ambassador said; dont let marriage makes you feel trapped.

Ok then, it’s lightning crashes 😀

I paused to ask him what he meant. And he said, ‘I might not know you for long like the rest of the guys here but we all share the same universal knowledge.’ I must have looked puzzled and let my strong ‘which issss…’ question within heard by him. He answered ‘The universal knowledge is also the universal mistake in believing that a marriage should tame and trap a person into some sort of an invisible cage’.

well by then i really should have to go home but i think it might be useful to heard some more.

He continued ‘U know u can be married to one person and be a devoted mother, but your love to other things; be it to another person or even to an aspiration, should only enrich your love to them. U should be adult enough to draw limit when to listen and respond your inner self, and when it is really dangerous and jeopardizing your state of being’

Ok now THAT, is  one heluva ADVANCE statement. I’m not sure whether i digest it well or not. Hence, it’s stuck in my head for days later.

This morning.. a long lost best friend (then boyfriend) lived in another continent say hello in a messenger. With him it’s that kind of relationship in which although u haven’t spoke with each other for the longest time, u still catch up like it’s only yesterday. He shared his fondness to a book he just read, we conversed a lot about religions; Islam, Catholics, Hindu Buddha Sufism and what nots, and also about his latest love story.

When we came to the end of our chat, his last words for me was this ‘U are a free soul Chida.. Live, live, live’. He repeat live 3 times.

U know I don’t have any intention to make this writing end up making u think that marriage is killing our personal freedom. If so, then i must have made a mistake in trying to articulate my experiences. From all those sequences of talks, what i actually think is this; My son and my family have indeed provide me with the boundaries I need. With them, I can choose better, decide better. I used to be that person running around with too many options in my hand, they left me confused most of the time. But now, the challenge is to listen again to my inner voice. Because then again, that is where God lives. Family, jobs, and friends, are extras. Priceless bonus in our exterior world. Their presence, should make me a better listener on what the inner voice have to say.

And I couldn’t be more grateful with all those random talks. It’s always nice to have something random that we cannot predict and understand. They usually live in the space between things. Between certainty and confusion. Between a journey and a destination. Between the heart and the mind. Maybe that’s God, maybe that’s love..

 

On Abang None Jakarta July 17, 2009

Filed under: Indonesia,The Crazy Werld — orchida @ 5:02 am

Last nite the winners of Abang None 2009 were chosen. I missed it tho, but it triggers me to write. Kira-kira setahun yang lalu, pulang dari Belanda I stumbled into a writing in Jakarta Post, opinion from someone named Dian something. Intinya dia bilang bahwa abang none Jkt mainly adalah the typical beauty pageant’s contestants; beautiful but dumb. She added, bahwa bahkan Ibunya sendiri terbahak-bahak mendengar jawaban yang amat bodoh dari para kontenstan abang none. When I was chosen Miss Jakarta 2002, I was only 20. And eversince, I continually received comments from people, negative or positive. And mostly those who know least made more comments than those who know much. Classic

There are repeating myths around abang none’s finalists:

1. that they are dumb

well begini ya.. finalist abang none taun 2002 ketika saya ikut, dimenangkan oleh saya dan seorang calon dokter bernama Muska Nataliansyah. Sampai saat ini saya cuma sekali2 mendengar kabar tentang kegiatan Bang Muska, dan terakhir kali yang saya tau, dia sedang mewujudkan mimpinya menjadi dokter anak seperti Patch Adam dan sedang melaksanakan praktek lapangan menjadi dokter di wilayah Indonesia terpencil. DIa menikahi none juara II bernama Nurilla. Abang juara II saat itu, Sadeko Tukul namanya, kini yang saya tau sedang melanjutkan studi master di Perancis bersama keluarga kecilnya. Saya sendiri membaca artikel di Jakarta Post itu karena baru saja mengecek artikel saya yang dimuat disana ketika saya sedang menyelesaikan studi beasiswa s2 di bidang Globalization and Law.

Saya tidak pernah tau dengan pasti bagaimana mengukur seseorang itu pintar atau tidak pintar tapi saya percaya bahwa juri-juri yang memilih kami sebagai pemenang memiliki kredibilitas yang tinggi. Waktu itu saya ingat ketua dewan juri saya adalah Bapak Arif Rahman, anggota juri yang lain adalah Rae Sita Supit, Tika Bisono dan Pak Robert mantan Kepala Dinas Pariwisata Jkt. Sisanya saya kurang ingat. Saya percaya mereka bukan orang-orang kemarin sore yang dengan mudah dikelabui oleh jawaban2 retorik peserta beauty pageant pada umumnya. MIsalnya jika mereka bertanya ‘apa yang menurut kamu bisa dilakukan untuk memperbaiki citra Jakarta?’ maka kalau saya menjawab ‘World Peace’, maka saya tidak akan pernah menang.

Yang tidak diketahui oleh masyarakat umum adalah, pemilihan pemenang abang none tidak dilakukan hanya saat dipanggung malam final sebagaimana disiarkan di TV dan ditonton berjuta mata. Interview sudah dilakukan oleh para juri secara intensif dan melelahkan berhari-hari sebelumnya. Bahkan, penilaian tentang siapa yang akan menang telah 90% didapat sebelum acara malam final berlangsung. Penilaian yang 10% akan dilakukan pada malam final untuk menilai kemampuan tampil di depan publik. Hal yang disebut terakhir penting untuk dipertimbangkan karena bagaimanapun kami akan menjadi spokeperson muda untuk pariwisata Jakarta.

Selain beberapa orang teman yang serius pada bidang pendidikan sebagaimana yang sudah saya sebutkan diatas, pada saat yang sama, teman2 finalis abang none 2002 juga terdiri dari beberapa nama yang kini sudah kerap muncul di infotainment seperti Syaiful Djamil dan Damian sang pesulap (saya kurang yakin apa sebutan untuk Damian =p saya kenal dia sebagai Ipank, atau Aditya Pambudi. Pasangan saya sebagai pemenang abang none Favorite).

Malam final yang dilihat oleh masyarakat di TV adalah murni untuk tujuan hiburan. Kami sendiri bukan entertainer profesional sehingga untuk siapapun yang berumur 20 tahunan dan belum punya pengalaman bicara didepan TV yang ditonton begitu banyak orang, pasti akan ada jawaban2 yang terkesan awkward dan melenceng. Saya belum punya kapasitas untuk mengatakan orang mana yang pintar dan mana yang tidak. Tapi saya dapat pastikan bahwa yang akhirnya menang pada pemilihan abang none adalah orang yang betul-betul serius dalam menjawab pertanyaan juri dan tidak memberikan jawaban standar beauty pageant sebagaimana dipercaya orang pada umumnya.

2. that they can only be beautiful but not smart

ya ampun mitos yang kali ini lebih ngarang lagi. Sebetulnya menyebut abang none sebagai pageant saja sudah tidak tepat karena memang pemilihan ini bukan ajang cantik2an. Pada saat penyisihan di tingkat wilayah, saya bersaing dengan banyak kakak kelas saya di SMA yang sudah lebih dulu menjadi model gadis sampul. Bahkan banyak finalis None yang very2 good looking tidak menang kemudian malah menang diajang yang lain seperti Pemilihan Wajah Femina, MIss Indonesia, Puteri Indonesia, dll. Finalis abang biasanya menjadi TV personality, seperti Indra Bekti, Tommy Tjokro atau Adrian Maulana. Kriteria yang dipakai oleh para juri dalam menentukan pemenang jarang yang melihat dari kecantikan fisik. Bahkan mereka cenderung mengabaikan hal2 tersebut demi mengejar kualitas lainnya seperti kemampuan pemenang utk bertanggung jawab mengemban tugas sebagai Tourism Ambassador.

3. that they’re all about brain but NOT good looking

biasanya komen yang ketiga ini dikemukakan oleh orang2 yang pengetahuannya tentang abang none bersifat lumayan. Mereka yang tidak tau apa2 sama sekali cenderung memberikan komen sebagaimana yang disebut di poin nomer 1. Komen ini juga kemungkinan dimulai dari orang2 yang pernah mencoba ikut seleksi abang none di tingkat wilayah, namun gagal. Lagi2 good looking atau tidak sifatnya sangat relatif. Tapi saya harus mengakui bahwa memang, ketika saya menang, saya lebih percaya diri terhadap apa yang ada di kepala saya daripada penampilan saya. Seriously, in most cases all the finalists are much more good looking than the winner. But even this, is debatable.

4. that the whole contest is a waste of money

i must admit that i agree on this one to certain degree. Tak lama setelah saya diumumkan sebagai pemenang, kami di briefing oleh DInas Pariwisata DKI Jakarta mengenai tugas2 kami. PRomosi wisata ke Bali, Berlin, SIdney, dll. Perjalanan dan pengalaman yang menyenangkan, tapi saya tidak bisa untuk tidak bertanya berapa biaya yang dikeluarkan oleh DIparda dalam mengadakan promosi tersebut. Jumlahnya milyaran. Meskipun saya masih muda dan naif, tapi saya paham bahwa anggaran untuk mengadakan promosi tersebut diambil dari uang rakyat dan saya, sebagai Duta Pariwisata, memiliki tanggung jawab moral untuk mengundang turis sebanyak mungkin agar anggaran promosi tersebut dapat dikembalikan melalui tingginya kedatangan turis ke Jakarta.

Setahun pada saat saya menjabat sebagai None Jkt, Bapak saya sedang menjalankan perawatan kanker stadium 4. Tapi beliau berkata bahwa saya harus amanah dengan apapun yang dipercayakan pada saya. Sehingga memang, setaun itu saya mengalami banyak sekali keresahan mengenai bagaimana pariwisata Jakarta dijalankan dengan setengah hati. Para kepala dinas dan atasan biasanya memiliki keseriusan dan pendidikan yang tinggi, namun sistem monitoring yang lemah dan penggajian staf yang mungkin tidak cukup membuat banyak dana yang dipergunakan tidak efisien.

Saya sendiri merasa saya memiliki lebih banyak kemampuan daripada sekedar menjadi pendamping Sutiyoso di tiap event kota Jakarta. MEmang saya begitu sering dipercaya sebagai moderator dan MC pada event berskala nasional maupun internasional, namun bahkan dengan tingginya jumlah uang yang dikeluarkan dalam memilih kami sebagai pemenang, harusnya potensi kami bisa lebih dimanfaatkan lagi. Abang none dalam tugasnya dilarang mengambil keputusan untuk dapat tampil di TV tanpa izin Diparda, dilarang menggunakan kostum lain selain pakaian adat betawi bila sedang bertindak sebagai abang none, dan disarankan untuk tidak menyimpang dari aturan2 protokoler pemerintahan yang begitu kaku.

Pernah suatu kali saya bertanya pada protokol Gubernur, mengapa pengangkatan kembali Sutiyoso sebagai Gubernur ditentang secara luas oleh masyarakat. Saya ingat waktu itu kami, para abang none, mesti diselundupkan ke balaikota dengan pengamanan tinggi agar tidak diganggu oleh para demonstran yang banyak sekali jumlahnya. Kami mesti nginap semalam di balaikota untuk bisa siap pada pelantikan Gubernur esok paginya. Di balaikota banyak terdapa tentara, polisi, helikopter bahkan panser. Saya yang naif berpikir, kalau memang ia adalah pilihan rakyat, mengapa mesti paranoid seperti ini. Tapi pertanyaan saya mendapat tentangan sangat keras dari pihak protokol yang berujung panjang antara saya dengan DIparda.

Bagaimanapun, pengalaman menjadi None Jkt telah sedemikian rupa mempengaruhi hidup saya dan saya masih bersyukur atas hal tersebut sampai skrg. Kalau bisa saya ceritakan betapa menyenangkan dan menegangkannya mendapat kepercayaan sebagai None Jkt, saya bisa menulis sebuah buku untuk hal itu. Tapi ada tulisan dari Deasy Priadi, adik sahabat saya Cindy Rianti, yang bisa dibaca untuk mendapat gambaran tentang hal ini

http://deasypriadi.blogspot.com/2009/05/abang-none-priceless.html

May afterward we all Indonesian youngsters act more than we talk..

xoxo
C

 

Avoiding helping the devil January 16, 2009

Filed under: Uncategorized — orchida @ 7:55 am

– We are often instruments of evil when we try to do good – said Al-Fahid to his friend. – I always try to stay alert, but today I was used by the devil.

– How come? You are known to be so wise!

– This morning I went to the mosque to pray. Obeying the tradition, I took off my shoes before entering; when I was about to leave, I saw that they had been stolen: so I created a thief.

– But it’s not your fault – said the friend.

– It is my fault. It is so easy to arouse the bad side in our neighbor. It is so easy to annoy someone, spread discord, raise suspicion, separate brothers. The devil needs men to carry out his acts – and that is why I am to blame.

A very beautiful piece from http://paulocoelhoblog.com/

 

Merrier than Heaven

Filed under: Family,The Jolly World — orchida @ 6:41 am

My father departed 4 years ago in this month of January. Just like the rest of spoilt brat people out there, I grieve upon his loss like God had crossed me more than He ever crossed someone else. That was the first stage of sadness, they said; to face misery with anger. And then I began to take side with those hard-core pessimists who believe that God could have done better with this game of life. Why one must have cancer while others don’t? Why must one born with one leg while others have two? Why some men have 5 cars while some more posses nothing? Why God differentiate and be so unfair?

Time flies and my loneliness pushed me spiralling down below. Until one day I stumbled into my father’s diary, and this is what I found:

“This afternoon I went to drop my wife playing tennis. Of course I had to finish my milk before that, which started to taste more and more awful each day. The package of routine chemotherapy had inactive my saliva glands and now I know what a miraculous bless saliva is. At the tennis court I met the familiar ball-boy and greet him about his family and all. He said that his son was currently found ill of a cancer similar with mine, and he was only teen-ish. He showed me his son’s picture and seeing the boy’s neck swallowed with a lump as big as a mango, I cannot not crying.

I cried because I feel so lucky that with this serious illness, I don’t have to worry about my financial situation. I wept because I am grateful that I have this cancer after I experienced so many beautiful things in life, and not in such young age. I also cried because its been more than a year since I got diagnosed with stage 4 cancer, and despite what the doctors have said about how I will only survive the first 5 months, I am still here with my family. This evening everything turns into pure beauty and the night milk doesn’t taste so bad anymore. Tomorrow morning, I will greet the birds again and thank them because they have taught me about dancing and singing to life unconditionally. And in midday, I will go to the tennis court to help the ball-boy with his ill son.”

Right there and then I knew that my father had yet again helped me to escape out of my bitterness with his tender soul. I also knew that, many years after his passing, he witnessed everything that has happened to me; graduation, marriage, labour, and another deaths. He becomes one with the angels and communicates with me through the wind, the trees, and the rain. He lets me know that ever since, my life is nothing but a just and perfect design, and that the life we have today, might actually prettier than fantasy, merrier than heaven.

 

View Point: Polar bear, global food crisis and Ramadan September 4, 2008

Filed under: Family — orchida @ 10:58 am

I am a new mom and just like any other parent, I have a deep desire to provide my family with nothing but the best. Days and nights I have images running in my head regarding the future.

I have always been an optimistic person who has a lot of faith in tomorrow, but optimism came easy for me because my parents provided me with security and courage. It turned out, when the task switched to me in providing what’s best for my son, the word “best” is a word with a lot of doubts.

How will the world be when he turns 18? What kind of competition will he face? What battle, be it economic, moral, or hegemony, must he deal with? Searching for answers from the world’s current situation and my limited knowledge which can only predict so far into the future, the picture of my tomorrows becomes quite worrying.

Lately when I have watched TV, there is constant coverage on the global food crisis. This current blow is the world’s worst since the 1970s. Experts say this is the result of a complex combination of poor harvests, competition with bio-fuels, higher energy prices, surging demands, and a blockage in global trade which have driven up food prices worldwide.

The situation is so dire that even consumers in wealthy nations are being forced to adjust. Food supply and demand is out of balance and shows how the sustaining power of globalization is breaking down. In a world getting more interlinked as never before, a crisis felt by one country will soon affect other countries.

It is apparent the chaos is also caused by global warming. A few months ago I saw the movie Earth and I think it was the saddest movie ever — hands down. The first part of the movie tells the story about a family of polar bears struggling for months to live because the seals — their food supply — are migrating and the ice which the bears live on is shrinking.

And so there I was, sitting glued to the couch, unprepared for what I was about to see, watching the mother bear and her two cubs, skinnier by the day, walking thousands of miles to look for food with little hope. The father bear was away for too long in search of food, and has a heartbreakingly end as he dies when bitten by the sea elephant, too weak to fight back. The story was devastating, ironic but also naturally poetic. It taught me more about the real challenge of global warming — despite my actual experience of having snow fall at the beginning of this year’s spring.

And now my life has gotten more complicated as since then, I have begun to question each and every one of my decisions. I wanted badly to buy my son a designer jacket found on a sale rack, but soon the image of the mother bear re-surfaced. I knew my son have more than enough outfits and unfortunately, I also know that in producing one tiny clothing item, the factory might produce a much larger amount of waste for the environment.

So I put the jacket back on the rack. Another time I wanted to buy a really pretty handbag — practical for chic moms. But then I remembered the shortage of food everywhere in the world, and suddenly buying a handbag which costs as much as it does to feed a family in Africa for five years seemed like a very selfish act.

Economic globalization, aimed to achieve a “higher standard of living’, is instead being referred to by Thomas Friedman as “unleashing forest-crushing forces of development if left unchecked”. So the word “check” here is essential. People need a border in life, we need limits. That is why we have religions, laws and norms. Globalization has gradually decreased boundaries, and not only territorially but also of human’s ravenous needs.

For decades we have insatiably cut down the trees and built skyscrapers in order to produce, to consume, to ignore, until it gets to the point where we can never understand when enough really means enough. Universally, we are buzzing about global warming and the global food crisis but even a massive event such as the UN climate change conference in Bali was unsuccessful in underpinning multilateral strategies to stop the crisis from continuing.

I began to believe the solution is perhaps much closer to home than we realize. The taming of desire, controlling our endless wanting, and barring ourselves from the appetite of maximum exploitation of everything are probably the keys which can make “the real change”.

Those are all the clich*s that Islam and the holy month of Ramadan have tried to teach us for so long — to practice self-control, to feel enough again, and to find contentment in what is available. We need some quiet time to challenge our inner demons who always demand more than what is given. If it is true that we as international community are becoming more connected now than ever before then it also must be true that a single act can really make a difference.

I am clueless as to how to obtain the best shape for my son’s future, but I believe the holy month of Ramadan provides me with the best of exercises to minimize my wants so I can finally find peace and happiness in sufficiency again. Just as was once articulated by Mahatma Gandhi and is still relevant: “The world has enough for everyone’s need, but not for everyone’s greed.”

Happy fasting, everyone! Hope we all receive the blessings of the holy month.

(Also Published in The Jakarta Post, Sept 01 2008)

http://www.thejakartapost.com/news/2008/09/01/view-point-polar-bear-global-food-crisis-and-ramadan.html

The writer is scholarship awardee for Globalization and Law Master Program and currently live in Maastricht, The Netherlands. She can be reached at ini_chida@hotmail.com

 

The way of the Rainbow August 21, 2008

Filed under: Family — orchida @ 6:31 pm

One by one everything is coming to an end. Exams have passed, leaving me with only one more to go. Thesis is done. Things are packed, farewell party is planned and tickets are booked. With minor preparation left, we are all ready to go. At least I’m ready to go, probably not so with my husband. He and his soft heart had lately fill my days with ‘I really gonna miss our friends here’, or ‘This house have provided roof for us to be frustrated over studies, to curse the weather, to cry from missing our homeland, but in the same time for us to cooked for each other, and to cuddle when it snow’. Well, I told you about his soft heart.

But as much as I like to put a thick skin on his remarks, the art of living together have successfuly create individuals assimilating to their partner more than I realize. So walking the city, I found myself admired the sunset more, the bridges, popplar trees, and berries growing wild on a tiny garden somewhere around my neighborhood. I started questioning, did I made the right decision for going home so soon? Is this so soon, or actually just right? I have doubts about raising my baby in Indonesia, the country where I always put my heart into. I have worries that it might not be the best place for him to grow, or get as much as what The Netherlands have offered him. Life here is much tougher for me than it is back home, but funny enough, lately I found myself getting more convenient with hardships. I like the feeling of being able to overcome them. I used to have such an average credit for my own capacity, but now I change my mind and it all I learned from this country.

When things became unbearable back then, I reminded myself to always see it in the grander light; How fortunate I am to be granted with a scholarship, to be accepted in the same University with my husband, to be trusted with an opportunity to have a baby, and an extended family who had no problems on visiting me more than once in a year. How many people got such chances? But yet just like every other ordinary being, I keep on forgetting. Faced with daily technical difficulties, it was hard not to complain and whine. What a shame.

But it’s true that in the end we will see horizon with the clearest view. Now that I have come to an end, I know that having my baby here this year, instead of causing me more burden, had actually motivated me to finish my study on time. I received too many wonderful help from friends and staff of University, on the basis of my pregnancy. Despite the regretful ‘what ifs’ I used to have when people my age busy travelling Europe, having my baby around have given me the bliss that is priceless and incomparable. Circumstances which I considered too hard to handle, had beyond my awareness, kept me focus.

This year had surely been a milestone for my future and within, includes of course, my baby and my husband. Us as a family. I learn that all the credits I awarded to myself, are there because they are there. My husband with his amazing cooking, patience and understanding + my baby with his well manner, acting like a real philosopher when he kept his calm in times when mommy and daddy needed quiteness. Had this year unexist, I wouldn’t be so faithful that the 3 of us make such a wonderful team together.

A couple of days ago we had little celebration on Indonesian independence day. A rainy morning and a delicious nasi kuning after, we realized that from the huge windows was a scene of beautiful rainbow. Rain may lead to flood and disaster, but I believe that if we have faith to a happy ending, rain will lead us to the way of the rainbow.